Sertifikasi Halal Korporasi: Masuk "Aset Tak Berwujud" atau Beban Operasional? Tinjauan Akuntansi Strategis
Dalam skala industri manufaktur atau korporasi, proses sertifikasi halal bukan sekadar formalitas administrasi. Ini adalah proses kompleks yang melibatkan implementasi Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH), audit eksternal oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), hingga pengujian laboratorium yang ketat.
Biaya yang dikeluarkan tentu tidak sedikit. Mulai dari biaya registrasi, biaya pemeriksaan auditor, hingga professional fee konsultan.
Seringkali, manajemen perusahaan bertanya: "Apakah pengeluaran besar ini hanya akan menggerus Laba Rugi (P&L) tahun berjalan?"
Sebagai praktisi industri halal dan mahasiswa Akuntansi, saya melihat banyak perusahaan yang belum memaksimalkan pencatatan "Investasi Halal" ini dalam laporan keuangannya. Mari kita bedah sesuai prinsip akuntansi.
1. Sertifikat Halal sebagai Intangible Asset (Aset Tak Berwujud)
Berdasarkan standar akuntansi (PSAK 19 tentang Aset Tak Berwujud), sebuah pengeluaran dapat diakui sebagai aset jika memenuhi kriteria:
Dapat diidentifikasi.
Perusahaan memegang kendali atas aset tersebut.
Memberikan manfaat ekonomi di masa depan.
Sertifikat Halal Korporasi memenuhi syarat mutlak poin ke-3. Dengan adanya sertifikat halal, perusahaan mendapatkan Akses Pasar (masuk ke ritel modern, syarat ekspor ke negara OKI) dan Premium Pricing Power. Tanpa sertifikat ini, potensi pendapatan miliaran rupiah bisa hilang.
Oleh karena itu, biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh sertifikat pertama kali (Initial Recognition) sebaiknya dikapitalisasi sebagai Aset Tak Berwujud di Neraca (Balance Sheet), bukan langsung dibebankan habis.
Keuntungannya bagi Perusahaan:
Neraca Lebih Kuat: Meningkatkan total aset perusahaan.
Valuasi Brand Naik: Brand Value perusahaan meningkat di mata investor atau kreditur karena memiliki lisensi kepatuhan yang valid.
2. Amortisasi dan Strategi Pajak
Jika dicatat sebagai aset, maka biaya tersebut akan diamortisasi selama masa manfaatnya. Karena regulasi terbaru (UU Cipta Kerja) memungkinkan sertifikat halal berlaku seumur hidup (selama tidak ada perubahan proses/bahan), masa manfaatnya bisa dianggap tak terbatas atau diamortisasi dalam periode panjang sesuai kebijakan internal perusahaan.
Ini membuat beban di Laporan Laba Rugi (Income Statement) menjadi lebih rata dan tidak "mengagetkan" pemegang saham dengan biaya besar di satu periode saja.
3. Biaya Pemeliharaan (Maintenance Cost)
Berbeda dengan biaya perolehan awal, biaya yang keluar rutin setiap tahun seperti Pelatihan Penyelia Halal, Audit Surveillance, atau Perpanjangan Administrasi sebaiknya dicatat sebagai Beban Operasional (Opex).
Ini penting untuk menjaga agar aset (Sertifikat Halal) tersebut tetap valid dan perform dalam menghasilkan omzet.
Kesimpulan: Shift Mindset dari Compliance Cost ke Strategic Investment
Bagi Korporasi, Sertifikasi Halal jangan lagi dipandang sebagai "Beban Kepatuhan" semata. Ini adalah Belanja Modal (Capex) untuk membeli tiket masuk ke pasar global yang bernilai triliunan rupiah.
Pencatatan akuntansi yang tepat tidak hanya merapikan buku Anda, tapi juga mencerminkan bahwa manajemen memandang Halal sebagai aset strategis perusahaan.
Butuh Mitra Strategis untuk Korporasi Anda? PT. Halal Legal Indonesia siap menjadi mitra profesional Anda. Kami tidak hanya mengurus dokumen, tetapi memastikan implementasi Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) berjalan efisien dan terintegrasi dengan manajemen bisnis Anda.
